Mantan Ketua PKI
dan wakil Komintern untuk Asia Tengara ini ditetapkan sebagai pahlawan
kemerdekaan nasional.
Pengusiran, pembuangan, penangkapan, dan
pemenjaraan mewarnai kehidupan Tan Malaka sebagai konsekuensi atas perjuangan
untuk kemerdekaan. “Siapa ingin merdeka harus bersedia di penjara,” tulis Tan
Malaka. Dan, itu semua justru kian mengentalkan legenda atas dirinya.
Setelah 20 tahun mengembara dari negeri satu ke
negeri lain, Tan Malaka pulang dan terus berjuang yang berakhir tragis di ujung
bedil bangsa sendiri. Dan, lebih tragis lagi, namanya dipinggirkan oleh sejarah
Orde Baru walau ia ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan
keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret
1963.
Pria bernama lengkap Sutan Ibrahim gelar Datuk
Tan Malaka itu lahir di Desa Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897.
Beruntung ia terlahir dari keluarga Minangkabau yang terpandang, sehingga pada
usia 12 tahun ia berkesempatan mengecap sekolah pendidikan guru, yang didirikan
oleh pemerintah Hindia Belanda di Bukittinggi, Sumatera Barat. Lulus pada 1913,
atas rekomendasi gurunya G.H. Horensma, dan berkat pinjaman dana dari para engku
di Suliki Rp 50 per bulan, ia melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk sekolah
di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) di Haarlem. “Hutang
ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia,” tulisnya.
Di negeri Kincir Angin itu, Tan berkenalan dengan
teori revolusioner, sosialisme dan marxisme-komunisme melalui buku dan brosur.
Bahkan ia sempat diminta Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mewakili Indische
Vereenging pada kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Kota
Deventer. Melalui interaksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, ia semakin
yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas dari penjajahan
Belanda. Keyakinan yang dipegang secara konsisten. Itulah masa awal dalam
pengembangan politiknya.
Selama belajar di Belanda, Ipie—panggilan Tan di
sana—kerap sakit akibat makanan dan iklim Belanda yang tak cocok, serta
menderita pleuritus.
Pada November 1919, setelah kecamuk Perang Dunia
I usai, pemuda cerdas itu pulang ke Tanah Air, dengan napas lega. Ia merasa
terbebas dari dunia di sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I serta
selesainya revolusi sosial Rusia.
Tan kemudian mengajar anak-anak kuli kontrak di
perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss di Deli, dekat Medan, Sumatera
Utara. Di lingkungan perkebunan itu semangat radikalnya tumbuh ketika ia
menyaksikan ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah.
“Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya
satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan
paling kolot pada satu kutup. Di kutup yang lain berada satu golongan bangsa
dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli
kontrak,” tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara.
Pada masa itu, ia sudah mulai terlibat dalam
politik, dengan menjadi anggota Indies Social Democratic Association (ISDV),
yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di surat kabar terbitan
ISDV, Tan mempublikasikan artikel pertamanya.
Ia pun kerap terlibat konflik dengan manajemen
perkebunan orang Eropa atas isi pelajarannya kepada siswa. Konflik juga dipicu
oleh artikel politik liberal yang dia tulis di koran lokal, serta kegiatannya
sebagai aktivis serikat buruh, terutama pada pemogokan buruh kereta api pada
1920.
Pada akhir Februari 1920, ia pergi ke Jawa dan
dimulailah babak baru kehidupan dengan terjun ke gelanggang politik. Awalnya di
Yogyakarta tapi kemudian segera berpindah ke Semarang, kota yang disebut Tan
sebagai “Kota Merah”, untuk mendirikan sekolah rakyat bagi anak-anak Sarekat
Islam (SI), sebuah organisasi yang didirikan Semaun. Ruang rapat Sarekat Islam
Semarang diubah menjadi sekolah. “Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa
mulai dengan kurang lebih 50 orang murid,” tulis Tan Malaka.
Sekolah itu kemudian berkembang sangat cepat,
yang dijadikan model sekolah lain di sejumlah kota di Jawa. Melalui sekolah
itu, Tan menciptakan kader-kader baru.
Di luar pendidikan, Tan Malaka dengan cepat
terjun dalam kerja politik: ambil peran kepemimpinan dalam sejumlah serikat
buruh dan menulis artikel di sejumlah penerbitan PKI. Kepemimpinannya pun
meroket tatkala pada kongres PKI 24-25 Desember 1921, ia terpilih sebagai Ketua
PKI, menggantikan Semaun.
Salah satu ciri kepemimpinan Tan kala itu adalah
mendukung persatuan PKI dan Sarekat Islam untuk menghadapi penjajahan. Ia
merupakan pendukung perjuangan menentang perpecahan dengan Sarekat Islam.
Sebab, bagi Tan, antara komunisme dan Islam saling melengkapi, dan di
Indonesia, revolusi semestinya dibangun di atas keduanya. Pada skala
internasional, Tan Malaka juga memandang Islam sebagai pegangan yang potensial
untuk menyatukan kelas pekerja di beberapa negara di Afrika Utara, Timur
Tengah, Asia Selatan melawan imperalisme dan kapitalisme. Posisi ini
menempatkan dia berlawanan dengan Komunis Eropa dan pemimpin Komintern.
Karena peran Tan Malaka dalam PKI dipandang oleh
pemerintah kolonial sebagai kegiatan subversif, ia ditangkap Belanda di Bandung
pada Februari 1922. Lalu pada 24 Maret tahun itu ia diusir dari Indonesia.
Itulah awal pengembaraan panjang dari negeri yang satu ke negeri lain selama
hampir 20 tahun.
Ia pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota
Parlemen Belanda, lalu ke Jerman, pindah ke Moskwa. Di negeri beruang merah
itu, Tan terlibat secara mendalam dengan politik di Komunis Internasional
(Komintern). Ia beralasan bahwa partai komunis Eropa seharusnya mendukung
perjuangan kaum nasionalis di Asia. Pada pertemuan Komite Eksekutif Komintern
Juni 1923, ia terpilih sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Tugasnya
antara lain memberikan usul dan kritik bahkan veto atas aksi-aksi yang
dilakukan partai komunis di daerah kerjanya.
Dengan penugasan dari Komintern, ia pindah ke
Canton, Cina, Desember 1923, menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah.
Di sana ia bertemu dengan komunis dari Cina dan Indonesia serta tokoh politik
nasionalis Sun Yat-sen. Pekerjaan Tan Malaka termasuk menerbitkan sebuah majalah
berbahasa Inggris. Sempat ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik
Indonesia.
Tanpa paspor, Tan Malaka memasuki Filipina. Ia
tiba di Manila pada 20 Juli 1925, dengan kapal Empress of Russia, dan menyamar
sebagai Elias Fuentes, seorang muskius yang bekerja di kapal. Ia berusaha
memulihkan kesehatannya di rumah keluarga “Nona Carmen” di Santa Mesa, dekat
Manila. Beberapa bulan ia menginap di rumah Apolinario G. De los Santos, Rektor
Universitas Manila. Di sana, ia menulis secara teratur di harian El Debate.
Sementara itu, di Tanah Air terjadi pemberontakan
1926, yang digerakkan PKI. Namun, pemberontakan itu gagal dan dapat mudah
dipadamkan oleh kolonial Belanda dalam waktu singkat. Akibatnya, ribuan pejuang
politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak
yang dibuang ke Boven Digoel, Papua.
Tan Malaka mengkritik peristiwa itu sebagai
pemberontakan prematur, adventuristik, dan tindakan bunuh diri. Sebelum
pemberontakan itu pecah, Tan Malaka sudah mengingatkan para pemimpin komunis di
Tanah Air.
Sementara polisi kolonial terus memburu para
tokoh komunis, Desember 1926, Tan Malaka pergi ke Bangkok, Thailand, dan
bertemu dengan anggota PKI Subakat dan Djamaluddin Tamim. Mereka mendirikan
Partai Republik Indonesia (PARI). Dengan menyamar sebagai Haji Ibrahim, Tan
Malaka berdiam di Chieng-Mai.
Tan kembali ke Manila pada Agustus 1927, tapi
segera ditangkap oleh polisi Amerika atas permintaan Belanda. Subakat ditangkap
di Bangkok, 1929, dan meninggal di penjara 1930. Adapun Tamim ditangkap di
Singapura, 1932.
Tan dideportasi, lalu ia meninggalkan Filipina dengan
kapal. Ia memperkirakan akan ditangkap kembali oleh Belanda sesaat mendarat di
Cina. Karena itu, dengan bantuan awak kapal orang Filipina, ia melarikan diri
ketika kapal menambatkan jangkar di Pelabuhan Amoy (Xianmen). Tan bersembunyi
di sebuah desa terdekat, Sionching, sekitar dua tahun.
Ia pindah ke Shanghai pada sekitar 1929. Dua
tahun kemudian ia mulai bekerja lagi untuk Komintern. Ketika Jepang menduduki
Shanghai pada September 1932, Tan Malaka melarikan diri ke Hong Kong, dengan
penyamaran sebagai seorang Cina-Filipina dan menggunakan nama samaran. Tapi, ia
ditangkap oleh pihak berwenang Inggris dan dipenjara selama beberapa bulan
sebelum akhirnya diusir dari Hong Kong.
Setelah mempertimbangkan beberapa pilihan untuk
tempat pengasingan, Tan Malaka memilih kembali ke Amoy. Ia sempat berhubungan
kembali dengan teman lama di Desa Iwe, tanpa penangkapan. Tapi, di sana, jatuh
sakit beberapa tahun sebelum seorang dokter Cina memulihkan kesehatannya.
Pada 1936, ia kembali ke Amoy, dan ia mengajar
bahasa Inggris, Jerman, dan teori Marxist; sampai 1937 sekolah itu menjadi
sekolah bahasa terbesar di Amoy.
Pada Agustus 1937 ia pergi ke Rangoon, Birma,
lewat Singapura selama satu bulan. Tapi, karena tabungannya terkuras, ia
kembali ke Singapura melalui Penang, dan bekerja sebagai guru. Tatkala Jepang
menduduki jazirah Melayu dan Indonesia pada 1942, Tan Malaka memutuskan pulang
ke Tanah Air yang telah ia tinggalkan hampir dua puluh tahun.
Tan Malaka mulai dengan sebuah perjalanan panjang
beberapa bulan, tinggal beberapa waktu di Penang sebelum menyeberang ke Sumatra
kemudian mengunjungi Medan, Padang, dan beberapa kota lain di Sumatera sebelum
tinggal di pinggiran Jakarta yang diduduki Belanda pada Juli 1942. Sebagian
besar waktunya di sana dihabiskan dengan menulis dan riset di perpustakaan
Jakarta, menulis buku Madilog dan ASLIA (Asia-Australia).
Lagi-lagi tabungannya dari gaji mengajar di
Singapura nyaris terkuras. Dengan menggunakan nama palsu, ia bekerja sebagai
administrator di pertambangan batu bara di Bayah, Jawa Barat.
Jepang menyerah dan Kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan. Tan Malaka meninggalkan Bayah, dan mulai lagi menggunakan nama
aslinya untuk pertama kali dalam dua puluh tahun terakhir. Ia mengadakan
perjalanan pertama ke Jakarta, kemudian dilanjutkan ke sekitar Jawa.
Solo, pertengahan Januari 1946. Tan Malaka
bersama sekitar 140 organisasi nasionalis dan buruh membentuk Persatuan
Perjuangan (PP), dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan
Belanda. Koalisi ini mendapat dukungan luas dari rakyat dan tentara Republik,
termasuk dukungan dari Jenderal Sudirman. Programnya antara lain kemerdekaan
100 persen, pemerintahan rakyat, tentara rakyat.
Oleh Perdana Menteri Syahrir, PP dituduh mencoba
mengadakan kudeta. Tan Malaka dan beberapa pimpinan PP ditangkap, Maret 1946.
Ia penjara sampai September 1948 tanpa pernah diadili. Setelah bebas, ia
membentuk Partai Murba di Yogyakarta, 7 November 1948.
Ketika Belanda menangkap para pemimpin
pemerintahan pada Desember 1948, Tan melarikan diri ke pedesaan di Jawa Timur.
Ia mendirikan markasnya di Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi persawahan.
Ia berhubungan dengan Mayor Sabarudin, komandan Batalion 38. Akibat konflik
dengan kelompok tentara yang lain, Sabarudin dan anak buahnya ditangkap
pimpinnan TNI Jawa Timur dan didakwa berdasarkan undang-undang militer. Tan
Malaka juga ditangkap di Blimbing, 19 Februari 1949.
Korps Speciale Troepen (KST) Belanda melancarkan
operasi dari Nganjuk, Jawa Timur, dengan cepat dan brutal. Sejarawan Belanda
Poeze (2007) menggambarkan dengan detail bagaimana pasukan TNI melarikan diri
memasuki pegunungan dan bagaimana Tan Malaka, yang sudah terluka, berjalan
menuju sebuah pos TNI dan secara diam-diam dieksekusi pada 21 Februari 1949 di
Dusun Selopanggung, Desa Tanggul, sekitar 20 kilometer ke barat Kediri. Letnan
Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya, menjadi aktor di balik
penembakan itu. Tan Malaka dikuburkan di dalam hutan. Revolusi telah memakan
anaknya sendiri.
Namun, menurut pemberitaan Time edisi 4
Juli 1949, Tan Malaka dieksekusi 9 April, dekat Blitar. Republiken, tulis Time--juga
melaporkan bahwa mereka telah mengeksekusi mantan perdana menteri Amir
Sjarifoeddin, R.M. Suripino, dan seorang mantan diplomat dan sekretaris PKI
Hadjono.
Sebagai seorang ideolog, Tan Malaka menuangkan
buah pikirannya ke dalam sejumlah buku, antara lain yang terkenal Madilog
(Materialisme, Dialektika, Logika); Menuju Republik Indonesia (pertama kali
terbit di Kowloon, Hong Kong, April 1925), Dari Penjara ke Penjara
(otobiografi), dan Gerpolek.
Tan Malaka telah menjadi tokoh legenda. Bahkan
pada September 1945, Sukarno pernah menulis sebuah wasiat kepada Tan Malaka
untuk melanjutkan memimpin revolusi jika ia dan Hatta tidak mampu.
Nama Tan Malaka muncul sebagai tokoh utama dalam
beberapa karya fiksi yang terbit di Medan, dengan julukan Patjar Merah
Indonesia. Salah satu yang terkenal adalah roman Spionnage-Dienst (Patjar
Merah Indonesia). Roman karya Matu Mona itu mengisahkan petualangan Patjar
Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari
kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari
Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
· Wikipedia,
What Next Journal, Dari Penjara ke Penjara (Tan Malaka), Pergulatan Menuju
Republik: Tan Malaka 1925-1945 (Harry A. Poeze), Socialism and Liberation
magazine, Time, Ngarto Februana
0 komentar:
Posting Komentar